Jumat, 11 Desember 2009

ENERGI BIOETANOL DARI SAGU...

PROSPEK BIOETANOL DARI SAGU (Metroxylon spp) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI MINYAK TANAH

Oleh : Gusmailina


Abstrak

Sagu (Metroxylon spp) merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK). Tumbuhan ini merupakan tumbuhan penghasil karbohidrat yang cukup tinggi dibanding dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Secara alami tumbuhan sagu tersebar hampir di setiap pulau atau kepulauan di Indonesia dengan luasan terbesar terpusat di Papua, sedangkan sagu semi budidaya terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Tumbuhan ini merupakan asli Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai energi mix atau sebagai pencampur premium dan pertamax (E) atau dalam kondisi tertentu dari mesin dapat digunakan secara penuh (E100).
Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar nabati yang saat ini menjadi primadona untuk mengggantikan minyak bumi. Minyak bumi saat ini harganya semakin meningkat, selain kurang ramah lingkungan juga termasuk sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Bioethanol bisa dijadikan pengganti bahan bakar minyak tanah. Selain hemat, pembuatannya bisa dilakukan di rumah sendiri dengan mudah, selain itu juga lebih ekonomis dibandingkan menggunakan minyak tanah. Tulisan ini mencoba menguraikan secara global tentang prospek sagu sebagai sumber bioetanol untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai pengganti minyak tanah.


Kata kunci : sagu, bioetanol, energi, alternatif, minyak tanah.

======================================================================
*) Peneliti Utama pada Pusat Litbang Hasil Hutan, Bogor. Jl. Gunung Batu No 5. Telp/Fax : (0251) 8633378/ 8633413. email: gsmlina@gmail.com



I. PENDAHULUAN

A. Potensi Sagu

Sagu (Metroxylon spp) merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK). Tumbuhan ini merupakan tumbuhan penghasil karbohidrat yang cukup tinggi dibanding dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Secara alami tumbuhan sagu tersebar hampir di setiap pulau atau kepulauan di Indonesia dengan luasan terbesar terpusat di Papua, sedangkan sagu semi budidaya terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Tumbuhan ini merupakan asli Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai energi mix atau sebagai pencampur premium dan pertamax (E) atau dalam kondisi tertentu dari mesin dapat digunakan secara penuh (E100).
Populasi tumbuhan sagu di Indonesia diperkirakan terbesar di dunia sekitar 1,2 juta ha dan 90% diantaranya tumbuh di propinsi Papuas dan Maluku (Flach, 1997). Ke dua daerah tersebut termasuk pusat keragaman sagu tertinggi didunia, juga di beberapa daerah lain yang sudah mulai dimanfaatkan potensinya (semi budidaya). Informasi luas hutan alam sagu Indonesia menurut Flach (1997) yaitu 1.250.000 ha, yang tersebar di Papua 1.200.000 ha dan Maluku 50.000ha serta 148.000 ha hutan sagu semi budidaya yang tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat). Akan tetapi dari luasan tersebut hanya sekitar 40% saja yang merupakan areal penghasil pati produktif dengan produktivitas pati 7 ton/ha/tahun atau setara dengan etanol 3,5 kl/ha/tahun.

A B
Gambar 1. A. Tegakan sagu rakyat di Kabupaten Padang Pariaman, bekas tebangan sagu (B).
(Foto dok. gsmlina, 2009)

Menurut Poniman (1996) di Irian Jaya terdapat sekitar 1.406.469 ha tegakan sagu. Setiap ha tegakan sagu per tahun paling sedikit dihasilkan 2,5 ton pati sagu (Flach, 1983). Dengan demikian di Irian Jaya terdapat potensi pati sagu sekitar 3.516.176 ton sagu/tahun. Untuk kebutuhan pangan, masyarakat Irian membutuhkan sekitar 150.000 ton sagu/tahun. Dari data ini di Itian Jaya terdapat potensi sagu sekitar 3,1 juta ton yang menunggu pemanfaatannya. di Mentawai (Rasyad, 1996) terdapat sekitar 56.100 ha tegakan sagu dengan produksi sekitar 1.200 ton. Dengan demikian di Mentawai terdapat potensi pati sagu sekitar 139.000 ton/tahun. Di Padang Pariaman terdapat tegakan sagu sekitar 95.790 ha dengan produksi 5.063 ton/tahun (Zuki, 1996), di daerah ini terdapat potensi sagu yang belum dimanfaatkan sebanyak 234.412 ton sagu/tahun. Dari penjelasan tersebut potensi sagu sangat tinggi dan sudah saatnya dilakukan pemanfaatan pohon sagu agar tidak mubazir. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, telah merintis pemanfaatan sagu menjadi bioetanol, baik skala laboratorium mapun skala usaha kecil. Dan ini merupakan penelitian awal dalam rangka menuju optimalisasi produksi dan produktivitas bioetanol dari sagu.

B. Pati Sagu sebagai Sumber Bioetanol

Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar nabati yang saat ini menjadi primadona untuk mengggantikan minyak bumi. Minyak bumi saat ini harganya semakin meningkat, selain kurang ramah lingkungan juga termasuk sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Sementara bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yang banyak terdapat di Indonesia, selain sagu sumber potensial sagu antara lain singkong, tebu, aren, jambu mete, jagung dan lain-lain. Bioetanol dapat dihasilkan dari hasil pertanian yang tidak layak/tidak bisa dikonsumsi, seperti dari sampah/limbah pasar, limbah pabrik gula (tetes/mollases). Yang penting bahan apapun yang mengandung karbohidrat & gula, dapat diproses menjadi bioetanol. Melalui proses sakarifikasi (pemecahan gula komplek menjadi gula sederhana), fermentasi, dan distilasi, bahan-bahan tersebut dapat dikonversi menjadi bahan bakar bioetanol.
Pati sagu disebut juga poliglukosa, karena unit monomernya glukosa. Pati sagu lebih murni karena miskin kandungan lemak, protein dan senyawa lain, sehingga pati sagu sangat cocok digunakan sebagai bahan baku pembuatan turunan pati seperti dekstrin, dekstrose, gula, dan produk turunan lainnya. Pati sagu diekstrak dari empulur batang yang mengandung pati (27-31%), serat (20-24%) dan air (45-53%). Ekstraksi dilakukan dengan metode aliran air, sehingga air sangat berpengaruh terhadap kualitas mutu sagu. Bioetanol dari sagu berasal dari dua bagian yaitu pati sagu dan serat sagu. Sedangkan prosesnya berlangsung dalam empat tahapan yaitu : 1) hidrolisa bahan menjadi oligosacharida; 2) hidrolisa oligosacharida menjadi gula; 3) konversi gula menjadi etanol, 4) pemurnian bioetanol.

II. BIOETANOL SUMBER ENERGI TERBARUKAN YANG RAMAH LINGKUNGAN

Penggunaan bioetanol sebagai campuran BBM dapat mengurangi emisi karbon monooksida dan asap lainnya dari kendaraan. Hal ini sudah dibuktikan oleh beberapa negara yang sudah lebih dulu mengaplikasikannya, seperti Brazil dan Jepang. Perkembangan bisnis bioetanol di Indonesia seharusnya juga bisa menyamai kedua negara tersebut. Dengan melimpahnya bahan baku, seharusnya kita bisa menggantikan sebagian pemakaian BBM yang sudah semakin langka dengan bioetanol. Selain untuk bahan bakar (Fuel Grade Ethanol), Bioethanol dapat digunakan untuk industri kimia, farmasi, kedokteran, kosmetik, bahan baku aneka minuman, dll.
Bioethanol bisa dijadikan pengganti bahan bakar minyak tanah. Selain hemat, pembuatannya bisa dilakukan di rumah sendiri dengan mudah, selain itu juga lebih ekonomis dibandingkan menggunakan minyak tanah. Bila sehari menggunakan minyak tanah seharga Rp 16 ribu, maka dengan bioethanol bisa hemat Rp 4 ribu. Pengalaman membuat dan menggunakan bioethanol ini diceritakan oleh Bambang Kisudono, warga kota Surabaya yang memanfaatkan sampah dapurnya untuk membuat dan mengembangkan bioethanol di lingkungannya. Awalnya Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Surabaya (ITS) dari kajiannya menyimpulkan bahwa bioethanol dengan kompor khusus terbukti lebih efisien ketimbang kompor kerosin. Sehingga membuat Bambang berinisiatif melakukan pengolahan bioethanol sendiri.


Gambar 2. Kompor bioetanol
(foto koleksi gsmlina, 2009)

Perbandingan penggunaan bioethanol dan minyak tanah adalah 1:3. Artinya dengan 3 liter minyak tanah, sebanding dengan satu liter bio-ethanol. Dengan volume 100 cc akan membuat api menyala sekitar 30-40 menit. Skala rumahan proses pembuatan bioethanol terbagi tiga, yaitu bahan berpati, bergula dan bahan selulosa. Bahan baku bergula, misalnya tebu, nira, dan aren. Sedangkan bahan berpati, misalnya sagu, ubi kayu, jagung, biji sorgum, dan kentang manis. Bahan ini umumnya dimakan oleh manusia. Sehingga sebaiknya pengembangan bioethanol masa depan lebih ditujukan kepada penggunaan bahan yang tidak dimakan manusia, sehingga tidak mengganggu ketahanan pangan nasional.

III. PROSES PEMBUATAN BIOETANOL DARI SAGU

Pembuatan etanol dari pati dapat dilakukan secara kimia ataupun biologis. Akan tetapi jika berbicara “bioetanol” tentunya proses yang dipakai adalah secara biologis. dengan menggunakan enzim alfa dan glucoamilase yang mampu mengurai pati menjadi gula dan selanjutnya difermentasi lanjut menjadi bioetanol. Bioetanol dapat diperoleh dari serat dengan menggunakan enzim selulase. Efektivitas proses ini dipengaruhi oleh jenis enzim, kekentalan bahan (ratio pati dan air), presentase enzim dan proses fermentasi. Langkah-langkah pembuatan bioetanol berbahan sagu sebagai berikut:
Sagu (empelur) di parut  dipanaskan  aduk rata  dinginkan  tambahkan enzim  aduk rata  tambahkan urea dan NPK  aduk rata  fermentasi  distilasi  bioetanol  pemurnian




Gambar 3. Pemarutan sagu sebagai proses awal pembuatan bioetanol
(foto dok. gsmlina, 2009)



Gambar 4. Proses fermentasi
(Foto dok. gsmlina, 2009)

Proses fermentasi berlangsung beberapa jam setelah semua bahan dimasukkan ke dalam fermentor. Proses ini berjalan ditandai dengan keluarnya gelembung-gelembung udara kecil-kecil Gelembung-gelembung udara ini adalah gas CO2 yang dihasilkan selama proses fermentasi. Selama proses fermentasi usahakan agar suhu tidak melebihi 36oC dan pH nya dipertahankan 4.5 – 5. Proses fermentasi berjalan kurang lebih selama 2 sampai 3 hari. Salah satu tanda bahwa fermentasi sudah selesai adalah tidak terlihat lagi adanya gelembung-gelembung udara.



Gambar 5. Proses distilasi skala laboratorium untuk mendapatkan bioetanol
(foto dok. gsmlina, 2009)


Setelah proses fermentasi selesai, masukkan cairan fermentasi ke dalam evaporator atau boiler. Panaskan dengan suhu dipertahankan antara 79 – 81oC. Pada suhu ini bioetanol sudah menguap, tetapi air tidak menguap. Uap etanol dialirkan ke distilator. Bioetanol akan keluar dari pipa pengeluaran distilator. Distilasi pertama, biasanya kadar etanol masih di bawah 95%. Apabila kadar etanol masih di bawah 95%, distilasi perlu diulangi lagi (reflux) hingga kadar bioetanolnya 95%. Jika kadar etanolnya sudah 95% dilakukan dehidrasi atau penghilangan air. Untuk menghilangkan air bisa menggunakan kapur tohor atau zeolit sintetis. Tambahkan kapur tohor pada etanol. Biarkan semalam. Setelah itu didistilasi lagi hingga kadar airnya berkurang, dan kadar bioetanol yang diperoleh dapat mencapai 98-99%.

IV. PENUTUP (PELUANG DAN PROSPEK)

Mengingat potensi hutan alam sagu Indonesia yang luas, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Mengingat variasi genetik yang terbesar di dunia, Indonesia berpeluang besar untuk mengembangkan sagu sebagai sumber energi alternatif masa datang. Untuk menutupi kebutuhan pangan hanya 5% dari potensi yang ada, sehingga sisanya dapat dimanfaatkan sebagai sumber bioetanol. Untuk pengembangan budidaya sagu, masyarakat selama ini sudah mengenal teknik perbanyakan tanaman sagu secara vegetatif, sehingga untuk mendorong masyarakat lebih giat membudidayakan sagu tidak sulit. Pemanfaatan hutan alam sagu, maupun hutan tanaman sagu, yang diiringi pengembangan budidaya serta berdirinya industri bioetanol akan dapat menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Kehutanan. 1987. Program Penelitian Pohon Sagu (Metroxylon spp). Departemen Kehutanan. Jakarta.

Flach, M. 1977. Yield Potential of Sago Palm and it’s Realization. Papers of the first International Sago Symposium. Kuching 5-7 July 1976. Malaysia.

Gunawan, I. 2007. Cara Membuat Bioetanol Dari Singkong. Trubus online.

Haryanto, H. Dan P. Pangloli, 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Penerbit Kanisius. ISBN 979-413-726-X, Yogyakarta.

Mahasiswanegarawan. 2007. Membangun Industri Bioetanol Nasional Sebagai Pasokan Energi Berkelanjutan Dalam Menghadapi Krisis Energi Global. Blog Kuantum Peradaban, Dualisme Partikel Sains – Gelombang Politik. Institut Teknologi Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar